Kesiapan menjelang pernikahan meliputi seluruh pengetahuan, sikap,
mental, dan keterampilan tertentu yang harus dimiliki setiap individu yang akan
memasuki kehidupan pernikahan. Kesiapan-kesiapan tersebut antara lain sebagai
berikut:
1. Kesiapan Mental-Emosional
2. Kesiapan Spiritual
3. Kesiapan Konsepsional
4. Kesiapan Material (Finansial)
5. Kesiapan Sosial-Kultural
6. Kesiapan Fisik
1.
Kesiapan Mental-Emosional
Persiapan mental perlu dimiliki setiap individu yang akan menikah agar
nantinya tidak gamang tatkala menghadapi berbagai macam kondisi setelah
pernikahan. Kesiapan tersebut meliputi banyak hal, seperti kesiapan menanggung
beban, kesiapan menyelesaikan masalah, kesiapan mengelola konflik, dan kesiapan
menghadapi cobaan hidup di dalam keluarga. Pasangan muda perlu menyadari
bahwa kehidupan berkeluarga tidak hanya berisi kesenangan-kesenangan.
Mereka juga perlu menyadari bahwa setiap keluarga juga akan berhadapan dengan
masalah demi masalah.
Kesiapan mental yang perlu dimiliki oleh setiap individu yang akan
memutuskan untuk memasuki kehidupan pernikahan, antara lain sebagai berikut.
a.
Terbentuknya
sikap kepemimpinan dalam diri seseorang. Tanggung jawab merupakan salah satu
indikator terbentuknya sikap kepemimpinan dalam diri seseorang. Setiap individu
haruslah pribadi yang bertanggung jawab. Mereka harus siap memimpin anggota
keluarganya, sekaligus juga siap pula untuk dipimpin.
b.
Komitmen untuk
menanggung beban. Salah satu beban tersebut adalah beban menafkahi keluarga
bagi laki-laki. Kesediaan untuk menafkahi
anggota keluarga menuntut sikap kerja keras dan pantang menyerah. Dalam konteks
ini, indikatornya bukan besar-kecilnya penghasilan, tetapi kesediaan untuk menanggung
beban.
c.
Stabilitas emosi
saat menghadapi masalah keluarga. Salah satu yang perlu disiapkan adalah
kematangan emosi saat terjadi konflik di dalam keluarga. Individu yang masih
kekanak-kanakan saat menghadapi masalah, meskipun dari sisi usia telah dianggap
cukup, tetap dianggap belum siap memasuki pernikahan.
d.
Kesiapan
menghadapi pasangan. Salah satu tanda kematangan emosi individu yang siap
menuju pernikahan adalah kesiapannya untuk menghadapi perbedaan dengan
pasangan, misal perbedaan karakter, selera, dan pandangan. Termasuk dalam
kesiapan ini adalah kesiapan dan kesediaan untuk menerima kekurangan pada diri
pasangan, serta dorongan untuk menumbuhkan pasangan agar dapat menjadi individu
yang lebih baik.
2.
Kesiapan Spiritual
Kesiapan spiritual sangat diperlukan bagi setiap pasangan yang telah
memutuskan untuk memasuki kehidupan pernikahan. Spiritualitas akan memandu
setiap individu menghadapi hidup, termasuk kehidupan dalam keluarga. Selain
itu, spiritualitas juga memandu individu untuk menghadapi masalah-masalah dalam
kehidupan berkeluarga. Beberapa contoh kesiapan spiritual, antara lain sebagai
berikut.
a.
Lurusnya
orientasi pernikahan. Pernikahan bukanlah aktivitas main-main, apalagi hanya
sekedar pelampiasan gejolak syahwat semata. Pernikahan yang kokoh harus
didasarkan pada orientasi yang kuat, orientasi tersebut harus berakar pada
prinsip ketuhanan. Islam mengajarkan bahwa tujuan hidup adalah beribadah pada
Allah SWT, tentu termasuk kehidupan pernikahan. Pernikahan yang dilaksanakan
harus berorientasi pada tujuan hidup kita sebagai makhluk. Jadi, pernikahan itu
ditujukan untuk meraih kebahagiaan dunia dan akhirat, dan bukan sekedar
mencapai kesenangan duniawi semata.
b.
Optimis dalam
menghadapi masalah. Kesadaran spiritualitas menjadikan suami istri lebih
optimis dalam menghadapi masalah.
c.
Komitmen
beragama. Selain lurusnya orientasi pernikahan, komitmen terhadap nilai dan
aturan agama dari setiap pribadi yang akan menikah sangat diperlukan. Komitmen
tersebut berpengaruh pada bagaimana seseorang menentukan kriteria pasangan,
memilih pasangan, meminang, dan prosesi menuju pernikahan berikutnya. Kuatnya
komitmen beragama akan menentukan kematangan seseorang dalam mengelola keluarga
dan menjalani pernikahan. Namun, yang dimaksud komitmen beragama di sini
bukanlah (sekedar) banyaknya pengetahuan keagamaan. Ia adalah kesadaran untuk
menjadikan agama sebagai sistem nilai dalam kehidupan.
3.
Kesiapan Konseptual
Kesiapan konsepsional atau ilmiah ditandai dengan penguasaan berbagai
pengetahuan (dan keterampilan) yang diperlukan untuk menjalani kehidupan
pernikahan. Ada banyak pengetahuan yang harus dikuasai seseorang ketika akan
menikah, antara lain sebagai berikut.
a.
Hukum agama
(terutama yang terkait dengan pengelolaan keluarga).
b.
Komunikasi dalam
keluarga.
c.
Parenting (pengasuhan
anak).
d.
Hukum negara,
terutama terkait dengan keluarga.
e.
Pengelolaan
keuangan keluarga.
4.
Kesiapan Finansial
Hal lain yang harus disiapkan setiap individu yang akan menikah adalah
kesiapan finansial. Kesiapan ini tidak berarti menjadikan jumlah penghasilan
tertentu sebagai indikator kesiapan. Lebih dari sekedar nominal penghasilan,
yang kadang bersifat tentatif (sementara dan mudah berubah), yang lebih penting
adalah munculnya etos kerja serta sikap tanggung jawab untuk menafkahi
keluarga. Oleh karena itu, individu yang telah siap untuk melaksanakan
perkawinan seharusnya mulai membiasakan hidup mandiri. Kemandirian tersebut
terlihat pada dua kemampuan dasar dalam masalah finansial.
a.
Kemampuan untuk
memperoleh penghasilan dari sumber-sumber yang legal dan halal.
b.
Kemampuan untuk
mengelola penghasilan (harta) seberapapun jumlahnya untuk menyelesaikan sendiri
beban-beban ekonomi keluarga.
5.
Kesiapan Sosio-Kultural
Kesiapan sosial merupakan kemampuan berinteraksi dengan masyarakat secara
kontekstual dengan memperhatikan budaya setempat. Kesiapan ini merupakan
kemestian bagi anggota keluarga, karena begitu seseorang memutuskan untuk
berkeluarga, mereka akan segera memperoleh pengakuan sosial. Sebelumnya,
seorang yang belum menikah tidak memiliki beban sosial sebab seluruh tanggung
jawab sosial masih menginduk kepada orangtuanya.
Oleh karena itu, membiasakan diri untuk berinteraksi dengan masyarakat
dengan memperhatikan sopan
santun sangat diperlukan. Kebiasaan terlibat
dalam kerjakerja bersama (gotong royong), resepsi pernikahan warga, pertemuan
pemuda desa, menjenguk orang sakit, dan aktivitas sosial lainnya merupakan
cara-cara sederhana menyiapkan aspek sosio-kultural sebelum memasuki
pernikahan. Seseorang yang telah terbiasa membangun interaksi sosial sebelum
menikah, akan lebih mudah menyesuaikan diri pasca akad nikah, dan ketika
keluarga barunya mulai memperoleh pengakuan sosial dari masyarakat.
6. Kesiapan Fisik
Kesiapan ini diarahkan agar seseorang memiliki kesehatan yang memadai
sehingga mampu melaksanakan fungsi sebagai suami atau istri secara optimal,
baik fungsi reproduksi maupun fungsi-fungsi lainnya. Upaya untuk menjaga
kebugaran tubuh dengan olahraga dan istirahat yang cukup harus menjadi program
bagi mereka yang akan menikah. Memperhatikan jenis dan kualitas makan, serta
pola makan yang teratur merupakan bagian dari penyiapan fisik sebelum menikah.
Tentu saja termasuk menghindari dari konsumsi narkotika dan obat-obat
terlarang, yang dikhawatirkan akan merusak badan sehingga mengganggu ketenangan dan kebahagiaan kehidupan keluarga
nantinya.
Karena sebagian besar kita tidak mengetahui kondisi kesehatan secara
tepat, upaya pemeriksaan umum (check
up) pra-nikah baik sekiranya
dilaksanakan. Upaya ini dilakukan untuk memperdalam pengenalan terhadap diri
dan calon pasangan. Dengan pengenalan yang lebih baik dan ilmiah, diharapkan
proses antisipasi dan terapi terhadap gangguan kesehatan dapat dilakukan lebih
dini, sehingga ke depan tidak menimbulkan masalah setelah memasuki kehidupan berkeluarga.
Selain itu, sebenarnya tes kesehatan pranikah juga bermanfaat untuk mendapatkan
keturunan yang sehat.
7. Batas Waktu Kesiapan Menikah
Menentukan batas waktu kesiapan untuk menikah merupakan proses
perencanaan untuk menentukan dan menyiapkan proses perkawinan. Pada usia berapa
seseorang akan merasa siap dan memutuskan untuk menikah, sekaligus persiapan
apa saja yang akan dilakukan sehingga pada waktu yang direncanakan benar-benar
telah merasa siap untuk menikah. Kesiapan dalam menikah memang tidak dapat
dipaksakan, tetapi jelas dapat disiapkan. Semestinya lelaki dan perempuan
lajang melakukan upaya terarah untuk menyiapkan diri menuju pernikahan.
Sayangnya, dalam kehidupan sehari-hari, sebagian lelaki dan perempuan
lajang menghabiskan waktu untuk mencari pasangan dan menjalin hubungan pacaran
pada waktu yang lama, tetapi luput menyiapkan diri menuju jenjang pernikahan.
Padahal, seseorang menemukan pasangan akan lebih mudah dilakukan pada saat
seseorang telah memiliki kesiapan untuk menikah. Kecocokan terhadap pasangan
itu penting, tetapi ketika kesiapan untuk menikah belum dimiliki, panjangnya
usia pacaran seseorang tidak akan menjamin berlanjut ke jenjang pernikahan.
Namun, tatkala kesiapan untuk menikah telah dimiliki, sesingkat apapun
pertemuan terjadi, peluang untuk berlanjut ke pernikahan jauh lebih besar.
Pada usia berapakah seseorang dianggap siap untuk menikah? Pembahasan
tentang usia selalu menimbulkan perdebatan. Sunarti (2014: 18) mengutip
penelitian Sari (2012) bahwa usia menikah yang ideal bagi laki-laki adalah 26
tahun dan perempuan 24 tahun. Namun, bagaimana jika ternyata kita menjumpai
seseorang yang di usia 20 tahun telah memiliki kematangan untuk menikah? Ia matang
secara emosional, mandiri secara finansial, memiliki jiwa kepemimpinan yang
kuat, dan memiliki orientasi yang jelas mengenai pernikahan. Sementara di sisi
lain banyak dijumpai anak muda yang belum memiliki kejelasan visi dalam
berkeluarga meskipun usia telah memasuki 25 tahun. Memang tidak ada patokan
baku pada usia berapa seseorang memiliki kesiapan untuk menikah. Sekali lagi,
kematangan dan kesiapan seseorang untuk memasuki pernikahan perlu disiapkan.
Seiring fokus seseorang diarahkan untuk menyiapkan diri, usia mereka telah
memasuki batas minimal untuk menikah sesuai aturan pemerintah.
Referensi:
Sujono,
2016, Buku Panduan Pelatihan Pra Nikah
Bagi Fasilitator Keluarga Yogyakarta.