Rabu, 17 Mei 2017

Pesan Ibu Elly Risman untuk Orang Tua

Inilah pesan Ibu Elly Risman untuk para Orangtua :

Kalau Anda dititipi anak Presiden, kira-kira bagaimana mengasuh dan menjaganya ?
Beranikah Anda membentaknya sekali saja ?
Pasti enggak, kan ?
Nah, yang sekarang menitip bukan Presiden, tapi yang jauh lebih berkuasa dari Presiden, yaitu Allah.
Beranikah Anda membentak, memarahi, mencubit, menyentil, bahkan memukul ?

Jika Anda pernah melakukannya, kira-kira nanti di hari akhir, apa yang Anda jawab ketika ditanya Pemiliknya ?
*Jiwa anakmu lebih mahal* dari susu termahal yang ditumpahkannya. 
*Jaga lisanmu,* duhai orangtua. 
*Jangan pernah* engkau *memarahi* anakmu hanya gara-gara ia menumpahkan susunya atau karena ia *melakukan hal* yang menurutmu *salah.*
Anakmu tidak tahu kalau apa yang ia *lakukan adalah kesalahan.* 
*Otaknya belum mempunyai konsep* itu.
*Jaga Jiwa Anakmu.*
Lihatlah *tatapan mata* anakmu yang *tidak berdosa* itu ketika *engkau marah-marah.* 
Ia diam dan mencoba mencerna apa yang engkau katakan. 
*Apakah ia mengerti ?*
Mungkin iya, tapi cobalah perhatikan apa yang ia lakukan.                        *setelah* engkau *pukul dan engkau marahi.* 
Anakmu *tetap memelukmu*, masih ingin *engkau belai.* 
Bukankah inilah tanda si anak *memaafkanmu ?*
Namun, jika engkau terus-menerus mengumbar kata-kata kasarmu kepadanya, *otak anakmu akan merekamnya* dan akhirnya, *cadangan ‘maaf’ di otaknya hilang.*
*Apa yang akan terjadi* selanjutnya, duhai orangtua ? 
Anakmu akan *tumbuh menjadi anak yang ‘ganas’* dan ia pun akan *membencimu sedikit demi sedikit* hingga *tidak tahan* hidup bersamamu.
*Jiwa anak yang terluka itu akan mendendam.* 
Pernahkah engkau *saksikan* anak-anak yang *‘malas’ *merawat orangtuanya ketika tua ?* 
*Jangan salahkan* anak-anaknya. 
*Cobalah memahami* apa yang sudah *dilakukan* oleh orangtua itu kepada anak-anaknya ketika mereka *masih kecil.*
Orangtua.., anakmu itu *bukan kaset* yang bisa kau rekam untuk *kata-kata kasarmu.* 
Bersabarlah. 
*Jagalah kata-katamu* agar anak hanya tahu bahwa ayah ibunya adalah *contoh yang baik, yang bisa menahan amarahnya.*
Duhai orangtua, engkau pasti kesal kalau anakmu nakal.
Tapi pernahkan engkau *berpikir* bahwa kenakalannya mungkin adalah *efek rusaknya* jiwa anakmu karena *kesalahanmu...* 
Kau *pukul & kau cubit anakmu* hanya karena melakukan *hal-hal sepele*.   
Kau hina dina anakmu hanya karena ia *tidak mau melakukan* hal-hal yang engkau *perintahkan.*
Cobalah duduk dan *merenungi* apa saja *yang telah engkau lakukan* kepada anakmu. 
Apakah engkau lebih sayang pada susu paling mahal yang tertumpah? 
Anakmu pasti *menyadari* dan tahu ketika kemarahan itu *selalu hadir di depan matanya.* 
*Jiwanya* pun menjadi memerah bagai bara api. 
*Apa yang mungkin terjadi ketika jiwa anak sudah terusik ?*
Anak *tidak hormat* pada orangtua. 
Anak *menjadi musuh* orangtua. 
Anak *menjadi sumber kekesalan* orangtua. 
Anak tidak bermimpi hidup bersama dengan orangtua. 
*Hal-hal inikah yang engkau inginkan, duhai orangtua ?*
*Ingatlah, jiwa anakmu lebih mahal* dari susu termahal yang ditumpahkannya. 
*Jaga lisan* dan *perlakukanmu* kepada anakmu.
👶🏼👦🏼👧🏻👶🏼👦🏼👧🏻👶🏼👦🏼👧🏻
Untuk saya dan bapak ibu semua 🙏😊

8 MANFAAT TALENTS MAPPING UNTUK PASANGAN SUAMI ISTRI


Talents Mapping akan sangat membantu pasangan suami istri untuk hidup selaras dan saling memahami. Dengan mengetahui kepribadian, kekuatan dan kelemahan pasangannya, mereka dapat hidup selaras, dan dapat meraih banyak manfaat yang penting bagi kebahagiaan hidup keluarga. Diantaranya adalah :

✅Complementary Strength

Mereka mampu saling melengkapi satu sama lain. Setiap orang tentu memiliki kelemahan yang bisa menjadi hambatan dalam mencapai target. Salah satu manfaat terbesar saling memahami kepribadian dan kekuatan masing-masing adalah ketika pasangan kita mampu menggunakan kekuatannya untuk mendukung sisi lemah kita. Hal ini bisa menciptakan kerjasama yang well-rounded. Satu orang tidak mungkin hebat dalam semua sisi. Pasangan bisa.

✅Communicating

Dengan saling memahami kepribadian pasangan, rincian kekuatan dan kelemahan pasangan, mereka dapat membangun komunikasi yang selaras. Mereka memiliki cara berkomunikasi yang efektif dan benar-benar saling memahami. Di tahap awal kehidupan bersama hal ini menciptakan kebersamaan dan menghindarkan salah paham. Di tahap selanjutnya, komunikasi yang semakin selaras akan membuat kehidupan bersama semakin menyatu.

✅A Common Mission

Pada hubungan yang gagal seringkali penyebab utamanya adalah : masing-masing orang mengejar agenda yang berbeda. Mereka yang telah saling memahami, telah mampu berkomunikasi dengan baik, dan sudah saling melengkapi, akan bisa menemukan peran dan misi apa yang dapat mereka raih bersama. Dengan misi bersama itu mereka rela untuk saling berkorban demi pencapaiannya.

Saling memahami kepribadian pasangan akan memunculkan sikap dan perlakuan yang tepat. Secara naluriah manusia memiliki kebutuhan akan keadilan. Pasangan yang dapat saling memberi ruang untuk masing-masing individu mengaktualisasikan dirinya serta menjalani peran dengan caranya akan mampu memenuhi kebutuhan naluriah tersebut.

✅Trust
Saling memahami akan menjadikan mereka saling percaya. Hidup bersama seseorang yang berbeda dari kita artinya mengambil resiko. Dengan mengetahui kekuatan masing-masing, kita mampu memberikan yang terbaik dan dengan itu juga mampu membangun rasa saling percaya bahwa pasangan kita pun akan melakukan yang terbaik.

✅Acceptance

Mereka saling menerima. Setiap orang pasti melihat dunia dengan sudut pandangnya. Saat dua pribadi dengan kepribadian dan latar belakang berbeda hidup bersama, wajar jika ada perbedaan dan gesekan dalam hal-hal tertentu. Hal itu secara alami dapat memicu konflik kecuali jika keduanya betul-betul mau berusaha untuk saling memahami dan menyelaraskan diri.

Manusia tentulah tidak sempurna, ada saatnya mereka melakukan kesalahan. Ini adalah hal yang tak terhindarkan. Pasangan yang telah mampu membangun kepercayaan dan penerimaan, telah hidup dengan misi bersama, telah saling memahami kekuatan dan kelemahan masing-masing akan lebih mampu untuk saling memaklumi dan saling memaafkan. Terlebih jika suatu kesalahan terjadi karena hal tersebut berkaitan dengan sisi lemah pasangan kita. Kita tahu kesalahan itu terjadi karena keterbatasannya.

✅Unselfishness

Saat keselarasan hidup bersama telah betul-betul terbangun, dorongan alami untuk memperhatikan kesejahteraan diri sendiri telah berubah menjadi rasa bahagia jika melihat pasangannya sukses. Pasangan yang telah mencapai tingkatan hidup yang seperti ini akan menjadi manusia yang merasa hidupnya begitu lengkap dan berkelimpahan.

Muhammad Firman
Talents Mapping Coach; Practitioner

Selasa, 22 November 2016

Bukan hanya ibu, ayah juga harus M.SI (Master Segala Ilmu)


Sebelumnya kita para ayah harus mengapresiasi setinggi-tingginya bahwa seorang ibu dituntut menjadi "master" dalam banyak ilmu. Lalu apakah cukup hanya "mengapresiasi"?

Untuk mewujudkan keluarga yang harmonis, tentunya ayah juga harus menguasai banyak ilmu! Tidak harmoni namanya kalau ada kesenjangan antara ayah dan ibu terutama dalam ilmu! Ternyata ayah juga harus M.SI! Master Segala Ilmu..

Ilmu apa saja yang perlu ayah "masteri"?

1. Ilmu Psikologi. Ayah perlu mengenali tipe kepribadian istri dan anak2nya supaya bisa berinteraksi sesuai dengan masing2 kepribadian tersebut.

2. Ilmu Komunikasi. Perbedaan tipe kepribadian serta cara belajar & menyerap informasi membutuhkan cara yang berbeda pula dalam berkomunikasi. Tidak heran kalau ada istilah "ga nyambung" kan? Karena pemberi informasi memakai "frekuensi" yang berbeda dengan penerimanya.

3. Ilmu Agama. Nilai2 apa yang ingin ditanamkan dalam keluarga melalui komunikasi yang baik tadi? Tentu salah satunya yang terpenting adalah agama. Ayahlah yang pertama mengumandangkan adzan & iqamah ke telinga sang anak dan doa ayah terhadap anak adalah salah satu doa mustajab.

4. Ilmu Ekonomi. Salah satu tugas penting ayah adalah memberi nafkah. Tidak hanya memberi, ayah juga harus mengajarkan kemandirian ekonomi kepada anak2nya.

5. Ilmu Kesehatan. Dibutuhkan energi dan kekuatan yang tidak sedikit untuk menjalankan peran ayah. Karenanya ayah juga harus mengerti bagaimana agar tidak hanya dirinya tetap sehat, tapi juga seluruh anggota keluarganya untuk senantiasa bugar sepanjang usia.

6. Ilmu Pertahanan. Dunia yang semakin tanpa batas bisa menjadi ancaman keamanan tersendiri. Ayah harus memiliki wawasan pertahanan keamanan yang mumpuni agar anggota keluarganya terhindar dari berbagai serangan luar baik secara fisik maupun pemikiran.

7. Ilmu Kesenian. Ayah tidak harus pandai melukis untuk menghargai keindahan. Tidak harus pandai bermain musik untuk mengapresiasi nyanyian. Tidak harus pandai bercerita lucu untuk tertawa terbahak bersama-sama..

Selamat terus belajar ayah! Semoga lulus menjadi Ayah, M.SI. kebanggaan istri dan anak2..

Salam,
Ayah Adhi
@AmarullahAdhi

Minggu, 20 November 2016

Persiapan Persiapan Pernikahan

Kesiapan menjelang pernikahan meliputi seluruh pengetahuan, sikap, mental, dan keterampilan tertentu yang harus dimiliki setiap individu yang akan memasuki kehidupan pernikahan. Kesiapan-kesiapan tersebut antara lain sebagai berikut:
1. Kesiapan Mental-Emosional
2. Kesiapan Spiritual
3. Kesiapan Konsepsional
4. Kesiapan Material (Finansial)
5. Kesiapan Sosial-Kultural
6. Kesiapan Fisik

1.       Kesiapan Mental-Emosional
Persiapan mental perlu dimiliki setiap individu yang akan menikah agar nantinya tidak gamang tatkala menghadapi berbagai macam kondisi setelah pernikahan. Kesiapan tersebut meliputi banyak hal, seperti kesiapan menanggung beban, kesiapan menyelesaikan masalah, kesiapan mengelola konflik, dan kesiapan menghadapi cobaan hidup di dalam keluarga. Pasangan muda perlu menyadari
bahwa kehidupan berkeluarga tidak hanya berisi kesenangan-kesenangan. Mereka juga perlu menyadari bahwa setiap keluarga juga akan berhadapan dengan masalah demi masalah.

Kesiapan mental yang perlu dimiliki oleh setiap individu yang akan memutuskan untuk memasuki kehidupan pernikahan, antara lain sebagai berikut.
a.       Terbentuknya sikap kepemimpinan dalam diri seseorang. Tanggung jawab merupakan salah satu indikator terbentuknya sikap kepemimpinan dalam diri seseorang. Setiap individu haruslah pribadi yang bertanggung jawab. Mereka harus siap memimpin anggota keluarganya, sekaligus juga siap pula untuk dipimpin.
b.       Komitmen untuk menanggung beban. Salah satu beban tersebut adalah beban menafkahi keluarga bagi laki-laki. Kesediaan untuk menafkahi anggota keluarga menuntut sikap kerja keras dan pantang menyerah. Dalam konteks ini, indikatornya bukan besar-kecilnya penghasilan, tetapi kesediaan untuk menanggung beban.
c.        Stabilitas emosi saat menghadapi masalah keluarga. Salah satu yang perlu disiapkan adalah kematangan emosi saat terjadi konflik di dalam keluarga. Individu yang masih kekanak-kanakan saat menghadapi masalah, meskipun dari sisi usia telah dianggap cukup, tetap dianggap belum siap memasuki pernikahan.
d.       Kesiapan menghadapi pasangan. Salah satu tanda kematangan emosi individu yang siap menuju pernikahan adalah kesiapannya untuk menghadapi perbedaan dengan pasangan, misal perbedaan karakter, selera, dan pandangan. Termasuk dalam kesiapan ini adalah kesiapan dan kesediaan untuk menerima kekurangan pada diri pasangan, serta dorongan untuk menumbuhkan pasangan agar dapat menjadi individu yang lebih baik.

2.       Kesiapan Spiritual
Kesiapan spiritual sangat diperlukan bagi setiap pasangan yang telah memutuskan untuk memasuki kehidupan pernikahan. Spiritualitas akan memandu setiap individu menghadapi hidup, termasuk kehidupan dalam keluarga. Selain itu, spiritualitas juga memandu individu untuk menghadapi masalah-masalah dalam kehidupan berkeluarga. Beberapa contoh kesiapan spiritual, antara lain sebagai berikut.
a.       Lurusnya orientasi pernikahan. Pernikahan bukanlah aktivitas main-main, apalagi hanya sekedar pelampiasan gejolak syahwat semata. Pernikahan yang kokoh harus didasarkan pada orientasi yang kuat, orientasi tersebut harus berakar pada prinsip ketuhanan. Islam mengajarkan bahwa tujuan hidup adalah beribadah pada Allah SWT, tentu termasuk kehidupan pernikahan. Pernikahan yang dilaksanakan harus berorientasi pada tujuan hidup kita sebagai makhluk. Jadi, pernikahan itu ditujukan untuk meraih kebahagiaan dunia dan akhirat, dan bukan sekedar mencapai kesenangan duniawi semata.
b.       Optimis dalam menghadapi masalah. Kesadaran spiritualitas menjadikan suami istri lebih optimis dalam menghadapi masalah.
c.        Komitmen beragama. Selain lurusnya orientasi pernikahan, komitmen terhadap nilai dan aturan agama dari setiap pribadi yang akan menikah sangat diperlukan. Komitmen tersebut berpengaruh pada bagaimana seseorang menentukan kriteria pasangan, memilih pasangan, meminang, dan prosesi menuju pernikahan berikutnya. Kuatnya komitmen beragama akan menentukan kematangan seseorang dalam mengelola keluarga dan menjalani pernikahan. Namun, yang dimaksud komitmen beragama di sini bukanlah (sekedar) banyaknya pengetahuan keagamaan. Ia adalah kesadaran untuk menjadikan agama sebagai sistem nilai dalam kehidupan.

3.       Kesiapan Konseptual
Kesiapan konsepsional atau ilmiah ditandai dengan penguasaan berbagai pengetahuan (dan keterampilan) yang diperlukan untuk menjalani kehidupan pernikahan. Ada banyak pengetahuan yang harus dikuasai seseorang ketika akan menikah, antara lain sebagai berikut.
a.       Hukum agama (terutama yang terkait dengan pengelolaan keluarga).
b.       Komunikasi dalam keluarga.
c.        Parenting (pengasuhan anak).
d.       Hukum negara, terutama terkait dengan keluarga.
e.       Pengelolaan keuangan keluarga.

4.       Kesiapan Finansial
Hal lain yang harus disiapkan setiap individu yang akan menikah adalah kesiapan finansial. Kesiapan ini tidak berarti menjadikan jumlah penghasilan tertentu sebagai indikator kesiapan. Lebih dari sekedar nominal penghasilan, yang kadang bersifat tentatif (sementara dan mudah berubah), yang lebih penting adalah munculnya etos kerja serta sikap tanggung jawab untuk menafkahi keluarga. Oleh karena itu, individu yang telah siap untuk melaksanakan perkawinan seharusnya mulai membiasakan hidup mandiri. Kemandirian tersebut terlihat pada dua kemampuan dasar dalam masalah finansial.
a.       Kemampuan untuk memperoleh penghasilan dari sumber-sumber yang legal dan halal.
b.       Kemampuan untuk mengelola penghasilan (harta) seberapapun jumlahnya untuk menyelesaikan sendiri beban-beban ekonomi keluarga.

5.       Kesiapan Sosio-Kultural
Kesiapan sosial merupakan kemampuan berinteraksi dengan masyarakat secara kontekstual dengan memperhatikan budaya setempat. Kesiapan ini merupakan kemestian bagi anggota keluarga, karena begitu seseorang memutuskan untuk berkeluarga, mereka akan segera memperoleh pengakuan sosial. Sebelumnya, seorang yang belum menikah tidak memiliki beban sosial sebab seluruh tanggung jawab sosial masih menginduk kepada orangtuanya.
Oleh karena itu, membiasakan diri untuk berinteraksi dengan masyarakat dengan memperhatikan sopan santun sangat diperlukan. Kebiasaan terlibat dalam kerjakerja bersama (gotong royong), resepsi pernikahan warga, pertemuan pemuda desa, menjenguk orang sakit, dan aktivitas sosial lainnya merupakan cara-cara sederhana menyiapkan aspek sosio-kultural sebelum memasuki pernikahan. Seseorang yang telah terbiasa membangun interaksi sosial sebelum menikah, akan lebih mudah menyesuaikan diri pasca akad nikah, dan ketika keluarga barunya mulai memperoleh pengakuan sosial dari masyarakat.

6.       Kesiapan Fisik
Kesiapan ini diarahkan agar seseorang memiliki kesehatan yang memadai sehingga mampu melaksanakan fungsi sebagai suami atau istri secara optimal, baik fungsi reproduksi maupun fungsi-fungsi lainnya. Upaya untuk menjaga kebugaran tubuh dengan olahraga dan istirahat yang cukup harus menjadi program bagi mereka yang akan menikah. Memperhatikan jenis dan kualitas makan, serta pola makan yang teratur merupakan bagian dari penyiapan fisik sebelum menikah. Tentu saja termasuk menghindari dari konsumsi narkotika dan obat-obat terlarang, yang dikhawatirkan akan merusak badan sehingga mengganggu  ketenangan dan kebahagiaan kehidupan keluarga nantinya.
Karena sebagian besar kita tidak mengetahui kondisi kesehatan secara tepat, upaya pemeriksaan umum (check up) pra-nikah baik sekiranya dilaksanakan. Upaya ini dilakukan untuk memperdalam pengenalan terhadap diri dan calon pasangan. Dengan pengenalan yang lebih baik dan ilmiah, diharapkan proses antisipasi dan terapi terhadap gangguan kesehatan dapat dilakukan lebih dini, sehingga ke depan tidak menimbulkan masalah setelah memasuki kehidupan berkeluarga. Selain itu, sebenarnya tes kesehatan pranikah juga bermanfaat untuk mendapatkan keturunan yang sehat.

7.       Batas Waktu Kesiapan Menikah
Menentukan batas waktu kesiapan untuk menikah merupakan proses perencanaan untuk menentukan dan menyiapkan proses perkawinan. Pada usia berapa seseorang akan merasa siap dan memutuskan untuk menikah, sekaligus persiapan apa saja yang akan dilakukan sehingga pada waktu yang direncanakan benar-benar telah merasa siap untuk menikah. Kesiapan dalam menikah memang tidak dapat dipaksakan, tetapi jelas dapat disiapkan. Semestinya lelaki dan perempuan lajang melakukan upaya terarah untuk menyiapkan diri menuju pernikahan.

Sayangnya, dalam kehidupan sehari-hari, sebagian lelaki dan perempuan lajang menghabiskan waktu untuk mencari pasangan dan menjalin hubungan pacaran pada waktu yang lama, tetapi luput menyiapkan diri menuju jenjang pernikahan. Padahal, seseorang menemukan pasangan akan lebih mudah dilakukan pada saat seseorang telah memiliki kesiapan untuk menikah. Kecocokan terhadap pasangan itu penting, tetapi ketika kesiapan untuk menikah belum dimiliki, panjangnya usia pacaran seseorang tidak akan menjamin berlanjut ke jenjang pernikahan. Namun, tatkala kesiapan untuk menikah telah dimiliki, sesingkat apapun pertemuan terjadi, peluang untuk berlanjut ke pernikahan jauh lebih besar.
  
Pada usia berapakah seseorang dianggap siap untuk menikah? Pembahasan tentang usia selalu menimbulkan perdebatan. Sunarti (2014: 18) mengutip penelitian Sari (2012) bahwa usia menikah yang ideal bagi laki-laki adalah 26 tahun dan perempuan 24 tahun. Namun, bagaimana jika ternyata kita menjumpai seseorang yang di usia 20 tahun telah memiliki kematangan untuk menikah? Ia matang secara emosional, mandiri secara finansial, memiliki jiwa kepemimpinan yang kuat, dan memiliki orientasi yang jelas mengenai pernikahan. Sementara di sisi lain banyak dijumpai anak muda yang belum memiliki kejelasan visi dalam berkeluarga meskipun usia telah memasuki 25 tahun. Memang tidak ada patokan baku pada usia berapa seseorang memiliki kesiapan untuk menikah. Sekali lagi, kematangan dan kesiapan seseorang untuk memasuki pernikahan perlu disiapkan. Seiring fokus seseorang diarahkan untuk menyiapkan diri, usia mereka telah
memasuki batas minimal untuk menikah sesuai aturan pemerintah.

Referensi:
Sujono, 2016, Buku Panduan Pelatihan Pra Nikah Bagi Fasilitator Keluarga Yogyakarta.